Kesetiaan itu Langka tapi Ada

Hachiko: A Dog's Story, dibintangi oleh aktor yang memiliki ketampanan "abadi" (sampai tua gitu tetep aja keren) Richard Gere yang berperan sebagai Prof. Parker Wilson serta Joan Allen sebagai Cate Wilson, istri sang profesor. Kisah berawal ketika Ronnie berkisah tentang pahlawannya. Seekor anjing milik kakeknya.

Seekor anjing dikirim dalam sebuah perjalanan oleh seorang biksu di Jepang. Dalam perjalanannya, Hachiko akhirnya "lepas" di sebuah stasiun di kota Bedridge. Kemudian, si anjing yang tersesat bertemu dengan Parker. Prof. Parker bermaksud untuk menitipkan si anjing pada Carl, petugas stasiun, tapi Carl menolaknya dan menyarankan agar Parker membawa pulang anjing itu. Akhirnya Parker membawa pulang anjing itu. Meskipun di awal istrinya menolak kehadiran anjing itu, namun kemudian ia menerimanya karena melihat Parker dan anaknya Andy begitu bahagia dengan kehadiran anjing itu. Parker membawa si anjing kepada temannya Ken. Ken pun menjelaskan tentang anjing yang berjenis Akita dan ia pun membaca kalung yang melingkari leher anjing itu. Di liontin itu ada huruf kanji yang berarti Hachi atau delapan. Ia menjelaskan bahwa Hachi adalah lambang keberuntungan. Dan anjing jenis Akita adalah anjing yang begitu setia dengan majikannya. Biasanya dimiliki oleh keluarga kerajaan dan menjadi teman untuk berburu.  Sejak saat itu, anjing itu dipanggil dengan nama Hachi. Hachi mewarnai kehidupan keluarga Parker dan telah menjadi bagian dari keluarga, 
Hachi, adalah anjing yang spesial, ia begitu setia pada Parker. Saat pagi ia mengantarkan Parker ke stasiun kemudian ia pulang dan kembali ke stasiun tepat pukul 5 kurang 5 untuk menjemput Parker. Begitu seterusnya, Hachi selalu melakukan "ritual" yang sama setiap harinya. Apa yang dilakukan Hachi menarik perhatian banyak orang di sekitar stasiun, Jasjeet, si penjual hot dog, Mary Ann penjual buku, Carl petugas stasiun, dan pasangan suami istri penjual daging. Hachi setia menunggu kedatangan Parker di depan pintu stasiun dari hari ke hari. Hingga Parker kemudian meninggal di kampusnya dan tidak pernah keluar dari pintu stasiun untuk pulang. Tapi Hachi terus menunggunya hingga malam, hingga Andy, anak Parker, menjemput Hachi pulang.
Setelah Parker meninggal dunia, Hachi tinggal bersama Andy. Namun, Hachi sepertinya ikut merasakan kehilangan, ia tidak banyak beraktifitas. Hingga suatu hari Hachi kabur dari rumah dan pergi ke stasiun di kota Bedridge. Sejak itu ia terus menunggu "kedatangan" Parker, tuannya, di depan pintu stasiun. Di tempat yang sama setiap harinya. Hingga musim berganti dan Hachi pun menjadi pembicaraan setiap orang di kota itu hingga menarik seorang wartawan untuk meliputnya. Selepas itu kisah tentang Hachi, anjing yang setia menunggu kedatangan tuannya yang sudah meninggal menjadi legenda di kita itu. Hachi telah menjadi bagian dari hidup semua orang di Bedridge. Hachi terus menunggu di stasiun hingga 10 tahun kemudian. Cate yang sedang berziarah di makam Parker, terkejut karena melihat Hachi masih setia menunggu. Hachi terus setia menunggu hingga dia meninggal di depan stasiun itu.
Film ini terinspirasi dari kisah yang sama tentang Hachiko, anjing yang setia pada tuannya Prof. Hidesaburo Ueno, profesor departemen agricultur di Universitas Tokyo, Jepang. Hachi di dunia nyata meninggal di tahun 1935. Hachi menjadi legenda di kota Shibuya, Jepang. Bahkan di depan stasiun Shibuya terdapat monumen Hachiko.
Hachiko mengajarkan saya akan banyak hal. Terutama adalah tentang kesetiaan. Kesetiaan yang hanya patah oleh usia. Kesetiaan tanpa pamrih. Kesetiaan yang hanya dapat terjadi, jika tidak hanya rasa cinta kasih yang mendasari sebuah hubungan melainkan juga bentuk penghormatan, menghargai, pengabdian, dan mendasarkan semua pada kepercayaan.
Berharap sebuah kesetiaan ataupun bersetia pada satu diri mungkin merupakan barang langka sekarang ini. Banyak sekali alasan yang dijadikan pembenaran saat sebuah perselingkuhan atau ketidaksetiaan terjadi. Namun bukan berarti kesetiaan abadi itu tidak ada. Beberapa kisah bertebar di sekitar kita. Salah satunya adalah kisah seorang wanita yang memegang kesetiaannya hingga ruh terpisah dari raganya. Ainun Habibie, wanita berusia 72 tahun, istri dari presiden ketiga Indonesia BJ Habibie. Kisah Ibu Ainun menjadi istimewa bagi saya, karena beliau dengan setianya mendampingi sang suami dalam keadaan apapun dan dimanapun Pak Habibie berada. Di Jerman maupun Indonesia. Kesetiaan dan kebaikan Ibu Ainun yang selalu ada di sisi suaminya membuat beliau pun mendapat perlakuan yang sama dari suami dan anak-anaknya. Pak Habibie tak sesaat pun beranjak dari isi Ibu Ainun. Hingga beliau menghembuskan nafas terakhirnya di Jerman.
Dua kisah ini benar-benar membuat saya tersadarkan. Kesetiaan tidak dapat diraih dalam waktu sekejap. Kesetiaan adalah sebuah proses panjang sebuah hubungan. Apakah itu hubungan antar manusia pun manusia dengan makhluk lain.
Mungkin saya bukan Hachiko yang begitu setia dengan tuannya atau Ibu Ainun yang memegang teguh kesetiaannya hingga ruh itu terlepas. Saya hanya perempuan yang cukup tahu apa itu mencintai, pengorbanan, dan kesetiaan. Saya perempuan yang tahu menempatkan kesetiaan saya sampai sejauh apa. Saya perempuan yang tahu kepada siapa saya harus setia dan menunggu kehadirannya.
Kesetiaan itu langka tapi ada.

A True Story of Faith, Devotion and Undying Love
 

Janji Setia Episode 2

Di lantai empat kantor redaksi, gedung Potret.
Aku sungguh tidak menyangka, baru enam bulan seusai wisuda. Kesempatan bekerja pun menghampiriku. Padahal, baru pertama kali menaruh surat lamaran kerja di institusi sebuah pers terkenal. Menjalani sgala tahap test seleksi, akhirnya aku lolos jadi fotografer. Cihuy, senangnya hatiku. Namaku Alisa Fitri Maharani. Biasa dipanggil Pipit atau Rani atau terserah sesuka hati.
Setelah kemarin Potret menerimaku. Hari ini pulalah aku langsung bekerja. Jadi, jam Sembilan pagi, aku must ontime, karena ada rapat pembahasan tema edisi selanjutnya. Setiba di kantor, seketika aku langsung bergabung dengan kru lainnya. Beruntung, aku tepat waktu. Tapi, rapat redaksi belum dimulai. Kebetulan, posisi kursiku bersebelahan dengan Sekar.
“Pagi mbak,” sapaku menyuguhi ukiran bibirku.
“Pagi juga,” balasnya tanpa memandangku. Kerenyut dahiku menekuk. Memang bukan hal mudah, untuk memulai aktivitas hari pertama di kantor. Mulai dari beradaptasi dengan seluruh kru, karyawan dan manusia yang ada di sekitar gedung berlantai delapan ini. Tak perlu bertanya identitas. Id card telah terpasang di sebelah dada kiri dengan pakaian berwarna hitam pada tiap karyawan. Kebetulan, aku belum mendapat seragam. Jadi, meski agak canggung tapi aku mencoba bersikap sok akrab, dan memaksa diri tuk berbaur.
Kami duduk mengitari meja elips terbuat bahan campuran batu marmer dan pualam, berwarna biru putih. Para pemburu kejadian pun telah memenuhi kursi masing-masing. Tampang mereka memang sangat responsible dan menyimpan ability kuat. Aura journalist mereka sungguh ketara. Seiring bergulirnya masa, pasti mereka sudah tahan banting menjalani profesi sebagai jurnalis dan  fotografer. Yang kerjanya bergelut dengan bermacam peristiwa kehidupan di luar. Apalagi wartawan, kudu siap wara wiri mengejar bermacam bentuk tipologi narasumber, yang kadang keukeh sulit untuk dimintai keterangan. Tak peduli dicibir, diacuhkan, terpenting saat penyetoran berita, kevalidan data telah tersusun berupa kalimat paragraph.
“Selamat pagi semuanya,” suara seorang gadis berambut panjang hitam lurus sebahu memakai syal merah itu telah hadir menduduki kursi paling khusus diantara kru. Dan para insan yang berjumlah sekitar 15 orang termasuk aku serempak membalas salamnya “selamat pagi juga”, kepada gadis bernama lengkap Eva Maya Wulandari.
“Loh, mana kak Abdi, kok kamu duduki tempatnya kakak?” Sekar langsung menyerobot tanpa ikutan salam dengan kru. Intaian mata pun menuju ke arah gadis berkulit kuning langsat itu.
“Sebelumnya, saya ingin menyampaikan bahwa mas Abdi lagi ada halangan dia lagi ngeliput ke luar kota, jadi kalian semua ada titipan salam maaf darinya dan rapat kali ini, lagi-lagi saya dipercayai untuk menghandle rapat ini, terima kasih” Maya mengakhiri ucapannya.
Kulirik Sekar manyun, kayak sensi banget dengan wanita yang menempati kursi Abdi, abangnya. Acara penentuan tema pun dimulai. Beragam usulan judul bersahutan dari pribadi para kru. Semuanya berdasarkan pengalaman dan realita. Ada yang ingin mengungkap kasus prostitusi remaja, perdagangan anak (trafficking), merebaknya video mesum, semarak lokalisasi, bahkan ada masukan tema yang ingin menguak tentang kritik kinerja pemerintahan pada saat ini. Hm, lumayan berbobot. Sekaligus lebih menantang. Masing-masing mereka menjelaskan maksud dari tema yang diajukan. Jika ditemui ada satu hal menarik yang perlu ditelusuri, maka semua harus sepakat untuk menggarapnya.
“Ada yang lain?” suara Maya membuatku menatapnya dengan senyum.
“Pipit?” aku glagapan namaku disebut.
“Punya usulan tema?” Tanya perempuan bermata sayu itu. Tanpa babibu. Aku mengiyakan.
“Tentang kasus penculikan, mbak” ujarku ngasal. Entah, mengapa lidahku ingin mengeluarkan kata-kata itu. Padahal aku hanya sekedar mengingat judul hotnews berita pada salah satu koran yang kubaca tadi pagi. Akibatnya pun sekarang seluruh bola hitam putih manusia di ruangan itu mengekoriku. Seakan waktu tiba-tiba tak bergerak, dan para jiwa pun mematung. Mungkin usulanku terdengar konyol, aku pun hanya melebarkan bibirku.
“Maaf jika temaku agak kurang menarik,” timpalku menyelamatkan diri.
Tapi, Maya menampakkan ekspresi lain. Dia menyuguhiku dengan senyuman, kupikir hal itu penunjuk baik.
“Boleh juga usulmu Pit, apa alasanmu ingin mengusung tema itu?”
“Sebenarnya sih, aku hanya sekedar bilang aja, jadi alasannya aku gak tahu, napa aku bisa langsung ngomong gitu, hm, mungkin ini efek baca berita hari ini mbak, jadi kebawa deh?” selorohku datar.
“Maksudmu tentang misteri peristiwa 4 tahun hilangnya model cantik Lorensia Stefanny,” kepalaku angguk, membenarkan.
“Kebetulan juga tadi aku sempat membaca beritanya di koran, hari ini adalah hari peristiwa dimana Stefanny tiba-tiba lenyap pacsa show di taman anggrek Jakarta” sahut salah satu kru lain.
Kepala Maya bergerak mengamati Andika Purnomo, pemilik suara barusan ialah cowok berkaos dagadu hitam dengan rambut hitam cepak, berpiawakan tubuh gemar atlet, nampak dada rampingny terbungkus mengekar.
“Meski aku baru 2 tahun bergabung disini, peristiwa raibnya beberapa gadis yang terkenal itu sampai sekarang belum diketahui keberadaan nasib mereka, polisi pun sempat kewalahan mencari jejak si pelaku, hingga kini tak ada yang tahu motif apa sebenarnya yang terjadi dibalik kejadian ini,” jelas pria berusia 27 tahun itu.
“Kamu benar Dika, kejadian itu memang membingungkan banyak khalayak apalagi pihak tertentu, terlebih hingga sekarang orangnya belum  ditemukan, entah dia masih hidup atau sudah mati, tak ada yang bisa memastikan, apakah itu kasus penculikan atau….” Sekar yang langsung melanjutkan arah pembicaraan Andika barusan, ia menggantung perkataannya sambil melirik ke Maya.
“Atau pembunuhan,” ucapnya dengan intonasi ditekan. Layaknya kata itu ditujukan untuk seseorang. Sekar mengekor dengan sorot ketegasan. Dengan duduk berjarak dua meteran, Maya segera membuang muka, seakan ia tak mau ada yang terbaca dari sirat kedua matanya.
“Kalau begitu, kita voting aja,” tukas Maya tak mau berpanjang lebar.
Dari ke 15 orang yang menghadiri rapat. Hanya Sembilan acungan tangan yang menyepakati. Aku pun jua.
“Baiklah, kita deal kan untuk mengambil tema ini untuk dijadikan rubrik kista (kisah dalam peristiwa), untuk rubrik lainnya kita bahas lagi setelah istirahat nanti,”ujar Maya, sembari menulis catatan di laptopnya.
“Silahkan break dulu, setengah jam lagi kita teruskan kembali rapat ini,” lanjut Maya mempersilahkan para kru bubar ruangan. Sebelum beranjak, aku pun mengeluarkan benda note book dengan layar 11 inc. lalu mencatat hasil rapat yang barusan diulas tadi. Kulirik sekilas, Andika dipanggil Maya, cowok jangkung itu pun membuntuti ke ruang kantor cewek kelahiran 1979 tersebut. Pasti mau membahas tentang tema tadi.
“Pit!” tepukan Sekar mengagetkan pundak kananku.
“Eh mbak Sekar, ada apa ya?” tanyaku sontak.
“Temani aku ke kantin yuk!” tanpa menolak. Aku langsung menerima ajakannya. Heranku, ternyata mbak Sekar gak terlalu jaim-jaim amat. 
Sesampai di kantin Moro Kenyang.
Aku dan sekar tengah menikmati hidangan soto banjar dengan kuahnya yang putih, dilengkapi suwiran daging ayam, plus irisan telur ayam rebus mengenyangkan. Pelepas dahaga jus alpukat semakin menambah kelengkapan menu pagi itu. Di sela-sela menyantap, kami selengi dengan obrolan berkaitan rapat dua jam lalu.
“Tak seharusnya kamu mengusulkan peristiwa itu,” tegur Sekar membuatku terperanjat. Whats wrong? Pikirku.
“Maaf mbak, aku keceplosan gak sengaja,” sahutku.
“Tapi tak apalah, dengan menginvestigasi peristiwa ini siapa tahu kita bisa membantunya untuk membongkar si pelaku,”
“Maksud –nya itu untuk siapa mbak?”
“Kudengar, Stefanny adalah kekasih kakaknya maya,” hm, aku terhenyak sejenak. Pantesan raut Maya nampak sedu tadi.
“Dan hingga saat ini, kakaknya masih mengangggap Stefanny masih hidup, sejak kekasihnya menghilang, dia selalu mengurung diri di kamarnya dan tak mau berhenti melukis wajah Fanny,” jelas Sekar.
“Kasihan banget ya mbak,” tanggapku.
“Ya begitulah, saat aku melihat langsung kondisi kak Radit, aku jadi gak tega, secara aku juga punya kak Abdi” papar Sekar sambil menyeruput jus hijaunya.
“Tiga tahun lalu, tabloid kami juga sempat menelusuri kasus ini, itu pun karena permintaan dari polres yang meminta beberapa media turut membantu, salah satunya Potret,” lanjut sekar.
“Tapi, kenapa sikap mbak kayak ketus gitu ama Maya?” tanyaku.
Sekar nyengir.
“Yah, aku BT aja pas tahu kalau dia udah pacaran ama kak Abdi, jadi tiap kali dia mengusulkan tema, selalu saja kakak mengiyakan, jadi jangan kaget kalau aku kerap nyerocos saat rapat” tandas Sekar. Membuat bibirku melebar.
“Ya udahlah, gak usah ngomongin dia, ntar jadi gak mood makannya,”
“Jangan gitulah mbak sama calon ipar sendiri,” kelakarku. Sekar hanya geleng-geleng kepala.
Dan kami berdua melanjutkan aktivitas makan. Sembari menyisip kuah soto, otakku tak henti berselancar, kini semua baru jelas. Kenapa kasus ini begitu menarik? Dan aku baru tahu jawabannya.
###
Malam telah menampakkan gurat gelap. Pekat hitam menyelimuti sebagian atmosfir bumi.
Diruang luas 10 x 8 m, seorang gadis mengamati bongkahan es panjang sekitar tiga meter. Dengan posisi tidur, bola matanya yang nampak sedan namun tak menentu tengah menatap dalam balok es itu. Kedua tangannya yang terbungkus sarung tangan putih perlahan meraba dan mengelus penuh arti di sekitar ujung paling atas es.
“Selamat malam Tulip,” sapanya menatap bongkahan es panjang itu. Biasanya jika ada ucapan salam, pasti ada balasan. Namun, ini tidak, keadaan masih tetap hening. Gadis berambut panjang itu menunjukkan senyum sumringah.
“Aku tahu kamu lebih senang di sini, karena disini kita keluarga yang tak bisa terpisahkan,” ungkapnya. Wajah gadis berkulit putih ini semakin mendekat pada benda cair yang berwujud padat itu.
“Terutama aku, sampai kapan pun kita akan selalu bersama” ujarnya tiba-tiba seketika memeluk benda dingin itu. Tanpa peduli suhu es yang bisa mengigilkan tubuhnya. Namun tak lama kemudian ia melepaskan dekapannya. Lalu beranjak, ke kotak lemari pendingin yang lain, ia buka semua sekitar tiga pintu. Isi sama, balok panjang es tiga meter.
“Ketahuilah aku sayang banget ama kalian, jadi kalian harus temani aku,” paparnya seakan berbicara pada dirinya sendiri. Tapi, pandangannya tak mau enyah dari keempat balok tersebut. ada sesuatu tak biasa, meski tiap kali berbicara tak ada sahutan di ruang, ia merasa tak sendiri. ada jalinan komunikasi, antara dia dengan kebekuan es balok itu.
“Hari sudah malam, kalian istirahat ya,” tanpa menunggu, gadis yang memakai kain sutera panjang melilit di lehernya itu segera menutup kembali pintu lemari. Dirasa sudah merapatkan kembali pintu berbahan besi karet itu, ia melangkahkan kaki menuju pintu keluar. Tapi, kepalanya menoleh ke belakang, ia merasa berat hati. Akhirnya dia berbalik lagi.
“Biar kalian tidur pulas, aku akan menyanyikan lagu untuk kalian,” tawarnya, lalu mencari tempat duduk yang nyaman, sekalian bersandar di sebuah kursi bergoyang terbuat kayu.
Lihat tamanku penuh dengan bunga
Ada perinya dan ada putrinya
Setiap hari kita menyanyi
Agar sang puteri selalu tertawa


Lantunan gadis itu benar-benar membuat suasana mencekam. Kata-kata lihat kebunku, diubahnya spontan. Angin malam masuk dari celah-celah balik tembok pun menerpa rambut hitamnya. Dan sesuatu tak terlihat tanpa permisi turut meramaikan nyanyian gadis tersebut, iya jiwa-jiwa yang tak lagi berpenghuni mulai berkelebatan menari-nari di ruang itu, namun mereka seakan ingin mengatakan sesuatu, tapi sayang suara mereka tak bisa didengar oleh siapa pun, kecuali gadis itu. Terlihat malah khusyu bersenandung. Sepertinya gadis itu mendengar, tapi ia malah tak peduli akan jeritan mereka. Karena ia menyukai bisikan itu, suara-suara yang tak pernah diberi ampun.  
###
Pukul 09.00 WIB
Papan whiteboard telah dipenuhi coretan tulisan spidol boardmaker. Sesekali ruas kelima tangan kanan Andika memainkan benda panjang seukuran satu depa, yang bisa mengeluarkan cairan hitam itu. Lalu menyusun huruf “Laura Hasti”, selayang pandang Andika kembali menatap keempat orang yang tengah duduk di kursi. Hampir sejam, konsentrasi mereka terpacu pada pembahasan terkait rapat tema kemarin. Sesuai kesepakatan, kasus ini diserahkan kepada kami berlima, aku, Sekar, Andika, Nindy dan Joni.
“Nama siapa tuh dik?” tanyaku.
 “Semalam aku dapat info dari teman persku, Laura Hasti adalah salah satu teman akrab Stefanny semasa kecil waktu di sekolah dulu, dan dia bukan artis melainkan designer, pastinya kalian semua tahu kan merk rancangannya?”
Aku menggeleng. Karena tidak tahu.
“Laura Collection, hasil rancangannya memang banyak diminati oleh kalangan artis, maupun entrepreneur, karena fashion yang ia tunjukkan selalu up to date” sahut Nindy, rekan timku.
"Tapi, apakah dia mau dimintai keterangan?" tanyaku.
"Kita coba saja, yah minimal kita harus mengetahui seberapa dekat dia dengan Stefanny," jawab Andika
“Kebetulan dia besok tiba dari Singapura, jadi kita bisa jadikan dia sebagai salah satu narasumber terkait dengan raibnya Stefanny,” lanjut Andika.
“Boleh juga, kira-kira kapan pesawatnya take in?” tanya Sekar.
“Diperkirakan jam delapan malam di bandara ,” jawab cowok kelahiran Madiun.
“Oke, so besok kita stand by jam enam malam,” kata Sekar. Dan kami berlima pun mengakhiri rapat pagi ini.
###
Bersambung....

Janji Setia Para Peri dan Sang Putri

Sebuah koran harian pagi Surabaya pada tahun 1990, memuat berita headline menghebohkan, terutama bagi penghuni di panti asuhan purnama pelangi, di jalan Lasem 44. Judul besar terpampang di halaman pertama newspaper MoMeNt,
 “Api Melalap Purnama Pelangi, Satu Tewas”
dan pada lead pertama;
Berawal tercium bau sengat, lalu tiba-tiba percikan kilat menyembur berasal dari meteran listrik, seketika membesar hingga merambat ke aliran lainnya. Lalai, tak langsung padamkan, kobaran merah pun menghabisi bangunan tua hijau milik Ibu Lastri Purnama.

Sejak peristiwa menakutkan itu, pengelola yayasan panti asuhan purnama Pelangi, memilih merelokasi ke tempat baru. Mengingat, bangunan tua yang berdiri 1970 itu telah mengalami kerusakan total dan meninggalkan trauma mendalam bagi 200 wajah-wajah polos tak berdosa. Kayu-kayu cokelat penyangga yang mengokohkan 20 kamar para peri kecil telah berubah hitam, genteng-genteng atap pelindung sengatan panas dan air langit pun sudah kembali berabu. Mainan ayunan, selancaran dan lainnya pun juga menghilang, tapi pantas saja benda-benda itu bergegas menyelamatkan diri, dengan cara mencairkan kesatuannya yang melekat, meleleh dan menetes satu persatu. Dan semuanya jadi debu lapuk, lalu tertiup angin tak menyisakan, dan tak berguna lagi. Namun, kenangan di dalam panti ini tak kan memudar. Tangisan, senyuman, ocehan dan berbagai peristiwa telah tertoreh dalam catatan sejarah cerita tentang mereka para penghuni Purnama Pelangi. Namun, bertahun-tahun mengubur sebuah kisah yang terlupakan. Hingga kini, tak satupun mencari tahu.

###

15 tahun kemudian…
Di kantor Potret salah satu media cetak dwiminggu terkenal di Surabaya, tepatnya di lantai 6 tengah dipadati oleh para pendaftar calon fotographer, ada sekitar 30 orang yang mengirim surat lamaran kerja ke office redaksi. Setelah hampir dua bulan, majalah yang konsumennya dari kalangan menengah dan ke atas ini telah mencantumkan pengumuman mencari “fotografer sejati” di beberapa edisi terbitan.
Para kandidat rata-rata berusia sekitar 20 tahun sedang menunggu di ruang tunggu, sesekali mereka melirik pintu yang tertempel tulisan “Ruang Interview”. Sembari menanti panggilan untuk tes wawancara, mayoritas mereka terdiri dari cowok dan beberapa cewek menyibukkan diri dengan melakukan hal-hal sesukanya. Agar tidak jenuh, ada yang memanfaatkan ponsel hpnya bermain game, ada yang FB-an, chatting-an, bahkan ada yang mendengarkan musik. Seperti cewek yang lagi nangkring berlesehan di dekat pintu para penguji, bukannya menguping. Earphone dikedua telinganya membuat dia asyik menggoyangkan kepala. Rambut panjangnya terkucir berantakan, dengan bersikap cuek, ia bebas mengekspresikan raut wajah di depan laptop 20 inci, tertawa meluapkan kekagumannya kepada koleksi foto-foto antik milik teman mayanya di balik layar monitor. Komentarpun dia utarakan dengan kata-kata sewenanya di box chat.

300 detik kemudian, tanpa disadari wanita bercelana jeans muncul dari belakangnya, membawa map biru didekapan, pena pun mulai digerakkan pada list daftar nama calon selanjutnya. Mengetahui siapa sosok yang akan di-interview. Bibir penuh polesan merah hati itu mulai menganga, dan….
“Alisha Fitri Maharani!” sebutnya. Mereka yang ada di waiting room pun saling bertukar pandang. Tak satu pun beranjak.
“Saudari Alisha Fitri Maharani!” ulangnya lagi. Tak ada sahutan.
“Mungkin gadis yang duduk di depan pintu interview mbak,” ucap seorang gadis berkacamata minus, sambil menunjuk ke arah gadis yang masih angguk-angguk kepala cuek bebek. Wanita yang bertugas men-callingearphone-nya lalu berdiri tegak. peserta fotografer menoleh ke balik punggungnya. Dahinya langsung berkerut. Bibirnya pun manyun menukik. Ia pun mempercepat langkah, mendekati gadis bersila itu. Lalu, ia menepuk pundak gadis tersebut. Refleks, gadis itu pun mendongak dan melepas
“Giliran saya ya mbak….?” Sejenak ia sipitkan kedua matanya mengamati cocard di dada hawa di depannya.
“Mbak Sekar,” akhirnya nama wanita itu terbaca.
“Nama anda Alisha Fitri Maharani?” nafasnya terhela.
Ia mengangguk tanpa innocent.
“Silahkan masuk,” tak mau bertele-tele. Wanita itu membukakan pintu. Dan Maharani pun membereskan laptopnya dan ia mengambil sesuatu dalam tasnya, topi kesayangan terbuat sulaman benang biru, ia pasangkan keatas kepala, meski cewek, gadis ini nampak tomboy. Bersamaan, keduanya masuk ke dalam. Keberuntungan tengah memilih, dari ke 20 peserta, hanya tiga yang akan menjadi fotografer tabloid Potret. Serangkaian tahap tes mulai mengikuti audisi tes interview, presentasi karya foto dan uji coba menghandle beragam jenis kamera, agar dewan juri bisa menemukan fotografer yang benar-benar memenuhi kriteria. Setelah babak penyeleksian, akhirnya terpilih dua laki-laki dan satu perempuan, yakni Alisha Fitri Maharani.

###

Ruangan kantor utama dewan redaksi milik Abdi Maulana terdengar riuh.
“Cewek udik itu kok bisa lolos seleksi sih kak, apa gak salah?”
“Dia terlihat potensial, Kar, jadi dia layak kerja di sini,”
Gadis bernama sekar itu merapatkan kedua tangan di dadanya. Merasa kesal duduk di depan meja kantor pria berusia 30 tahun ini.
“Tapi, mengapa harus satu part sama aku?,”
“Aku dah lihat hasil file picture-nya, style anggle foto yang dia ambil sama seperti milikmu, dan aku pikir kalian pasti nanti jadi partner klop,” merasa kalah berargumen. Ia pun mendesah. Dan terdiam.
“Lagian ini ini bukan hanya keputusan aku saja, kamu tahu kan pengujinya ada Maya, Daniel, jadi ini sudah hasil kesepakatan bersama,” lelaki itu berusaha memberi pengertian.
“Ajaklah dia bersamamu dulu, kalau pun dia tidak becus dan ternyata hasil kerjanya tak memuaskan, kamu boleh memberhetikannya,”
“Benar ya?” dan lelaki itu tersenyum mengangguk.
“Baik! dia akan jadi partnerku, sekaligus aku ingin tahu seberapa hebat kemampuannya,” ucapan sekar terdengar menantang.

###

Tahun 1988
Pukul 11.00 WIB hujan deras mengguyur tanah pertiwi, lampu kuning nampak temaram mencahayai lorong-lorong setiap bilik panti asuhan Purnama Pelangi. Empat wanita pengasuh dengan langkah gesit berpencar, mengitari area panti untuk memeriksa tiap sudut tempat. Apalagi air langit diam-diam menyusup di setiap atas genting, menjatuhkan sedikit-sedikit tiap tetesan Kristal cairnya. Lalu menembus basahi benda apapun dan menimpa para anak adam yang tengah terlelap. Namun, tak seorang pun mereka bangun akibat sentuhan air yang menggelembung usik pori-pori tubuh. Tetap saja, mereka melelapkan mata. Seakan terbiasa dengan kondisi seperti itu.
“Bu Ambar, tolong cepat bangunkan anak-anak di kamar hijau, suruh mereka pindah ke ruang tengah,” pinta bu Lastri, wanita pemilik mata bulat berusia 35 itu nampak tenang menghadapi situasi genting ini. Kebocoran memang sangat menganggu kenyamanan anak-anak asuhnya tatkala beraktivitas, kerentanan bangunan berlantai dua itu kerap terjadi, apalagi jika hujan turun. Air bisa merembes melepuhkan dinding-dinding fondasi, terkadang tanpa disadari lantai yang tak berkeramik pun tiba-tiba sudah membanjiri ruangan. Walau begitu, anak-anak masih kerasan.  Bahkan, jika banjir dadakan melanda panti ini, anak-anak tetap sumringah bergotong royong menyelamatkan barang-barang dipanti, dan menguras sisa-sisa air hujan. Dan malam ini, semoga saja air hujan tak menggenangi rumah kami.    
Perempuan bernama Ambar itu bergegas menuju kamar yang dimaksud. Dengan menenteng panci, baskom atau peralatan dapur lainnya ia selipkan sebisanya di tubuh. Yah, benda itu akan ditaruh disetiap tempat untuk menampung air rembesan. Sesampai dikamar hijau, ambar langsung mendekati ranjang kayu berjumlah empat dan bertingkat dua. Ranjang yang berukuran panjang 1,5 meter dan lebar 1 meter telah ditiduri oleh anak-anak panti. Saat hujan mengguyur, kamar hijau adalah kamar yang harus diselamatkan dulu, karena kamar itu rawan mudah terkena resapan air disela-sela ruang.
“Ayo bangun anak-anak…” seketika suara Ambar mengejutkan mereka semua. dan Ambar pun tengah sibuk memasang panci di bawah lantai. Wajah nan mungil itu terdiri dari tujuh anak. Kedua tangan mereka lekas mengucek kedua mata. Berusaha tersadar dari lamunan mimpi. Dan sebagian sudah berdiri tegak, sembari memeluk bantal guling dan selimut bergaris. Lalu jalan setengah sempoyongan keluar kamar. Raut wajah mereka nampak smerawutan, rambut pun acak-acakan.
“Mawar [1], cepat ajak saudara-saudara mu ke ruang tengah,”  perintah ambar.
“Iya bunda,” Gadis jalan sempoyongan itu menoleh ke belakang, langkahnya kembali menarik gadis lainnya yang sudah sah menjadi saudara sejak kecil. Meski tak punya ikatan darah. Dirinya yang paling tua berusia 10 tahun harus bisa mengayomi saudara-saudara lainnya.
“Melati[2], Tulip[3], Lily[4], Kamelia[5], Violet[6], Anggreini[7],
bangun, kapal kita mau tenggelam, ” suara Mawar seketika membangkitkan rebahan anak-anak lainnya. Gadis kecil itu sengaja memakai kata “kapal kita mau tenggelam”, sebab dia tak mau membuat para saudaranya ikutan panik, mengetahui situasi yang nyata. Berbondong-bondong mereka keluar berjajar dari kamar hijau, meski ngantuk masih membebani, meski belum menyadari bahwa pakaian tidur mereka telah basah kuyup akibat tetesan air langit atap kamar. Kamelia dan Violet yang paling bontot bersedekap di balik punggung Anggreini dan Tulip, tangan mereka menyilangi leher kedua kakak besar mereka. Bu Ambar yang mengamati pemandangan itu, tersenyum bangga, kebersamaan mereka telah menyatu ibarat keluarga. Ketujuh bidadari kecil itu ditemukan bu Lastri di tempat yang berbeda sekaligus miris.
Seperti Kamelia dan Violet di hari yang sama, kedua hawa ini didapati bu Lastri berada di bawah pohon mahoni dekat terminal. Sedangkan Anggreini, Tulip, Mawar, Melati, Lily bernasib sama, tubuh onggok mereka terbungkus dalam kresek hitam, dan tergeletak di semak-semak rerimbunan pekarangan taman. Beruntung, nyawa mereka masih bernafas, hingga kini tawa canda mereka masih terdengar lepas membumbung ke udara, seakan ingin memberi tahu kepada dunia, bahwa mereka berkesempatan hidup, melihat dan menikmati indahnya anugerah Tuhan. Sengaja bu Lastri menempatkan mereka di komplek pelangi, berada di lantai bawah sesuai macam warna pelangi terdapat tujuh kamar, dan mereka menempati kamar hijau.  
Ketujuh nama bunga yang diberi bu Lastri itu kini telah hijrah ke ruang tengah, tepatnya ruang bercerita. Tubuh mereka selojoran diatas sofa. Sekilas mirip ruang tamu, tapi tempat itu disulap untuk ajang sharing anak-anak panti. Setiap hari, setiap jam tujuh malam penghuni panti bergumul saling membagi kisah. Di panti tidak ada istilah teman, semuanya saudara.  Jika ada masalah, konflik antar saudara di panti, diruang “cemara” inilah mereka sebut, solusi akan terselesaikan. Ditemani empat bunda pengasuh, bunda Lastri, bunda Ambar, bunda Rani dan bunda Hesti.  
Hentakan air hujan masih terdengar mengalun keras, nampaknya awan hitam malam itu ingin menumpahkan cairan Kristal yang memenuhi tubuhnya. Entah di bagian tubuh sebelah mana, karena benda putih itu tampak bergumpal-gumpal melayang di udara, kadang menjelma beraneka bentuk sesukanya. Malam itu, penghuni di panti purnama pelangi kembali tertidur nyenyak, meski atap tempat tinggal mereka sebagian bocor, meski beberapa menit sempat terganggu dengan tetesan air hujan. Mereka tetap bisa melanjutkan mimpi-mimpi indah.
Hingga pagi pun menjemput, dan saat itu pula, saat mawar hendak membersihkan halaman taman depan panti, ia menjerit melengking, terkejut melihat keranjang kotak bergerak-gerak sendiri, dengan selimut putih bunga bermotif matahari tersenyum.
“Bunda………” teriaknya. Perlahan ia mendekati keranjang terbuat dari batangan kayu kecil, lalu dengan tangan gemetar, ia menyentuh kain penutupnya, dan dengan sekuat keberanian, Mawar pun mengangkat kain itu sepelan mungkin, takut kalau isinya menyeramkan. Dan saat selimut itu terangkat bebas. Mawar spontan menampakkan giginya, tertawa girang. Makhluk mungil nan menggemaskan itu tak menangis, malah dia tersenyum berbinar. Seakan memberi salam manis untuk Mawar.
“Bunda, Mawar nemuin adik baru lagi,” teriakan Mawar kali ini lebih kencang. Sembari menunggu para bunda keluar. Mawar tanpa ragu, segera mengambil bayi yang entah berapa lama tubuhnya terbaring di kelilingi tumbuhan-tumbuhan di taman.
“Hei, adik kecil, kamu jangan takut ya, kamu disini bakal baik-baik saja sama kakak?” Mawar mengobrol dengan bayi yang belum bisa bicara itu. Namun, bayi cantik itu mengeluarkan suara khasnya, tawa menggelitik. Hanya itu yang bisa ia lakukan untuk membalas perkataan Mawar. Selang menit kemudian, para bunda dan penghuni panti keluar berhamburan menghampiri Mawar yang telah menggendong si bayi. Semuanya melongo kaget.
“Subhanallah, dari mana kau temukan dia nak?” Bunda Lastri langsung memindahkan bayi itu ke dalam dekapannya. Dan anak-anak panti pun mengerumuni bunda Lastri, ingin melihat adik bayi.
“Mawar tadi mau memotong rumput, dan tiba-tiba sudah ada adik kecil ini dengan keranjang dan selimutnya,”
“Dia menangis?” Tanya bunda Hesti memeriksa kening si bayi, khawatir sakit. Mawar pun menggeleng.
“Rani dan Ambar, cepat kau amati sekitar sini, mungkin orang yang menaruh bayi ini belum jauh,” mendapat perintah Lastri, Bunda Rani dan Bunda Ambar langsung berlari keluar panti.
“Dia cantik ya kak?” ungkap Violet yang digendong Tulip, kepalanya mendongak-dongak, ingin mengetahui rupa si bayi.
“Iyalah dia kan cewek, Vio, sama kayak kamu,” sahut Tulip.
“Adik bayi di kasih nama apa ya bunda?” Tanya melati.
“Mungkin kalian punya usulan nama buat dia,” Bunda Lastri memandang ke arah Mawar. Gadis kecil yang menemukan bayi tersebut.
“Hm, gimana kalau namanya Mentari aja bunda, soalnya dia kan ditemukan di pagi hari,” sahut Mawar. Tanpa berpikir panjang, bunda Lastri mengangguk.
“Baiklah, sekarang kita punya keluarga baru lagi, namanya Mentari,” ucap bu Lastri mengumumkan kepada anak-anak panti yang tengah mengerumuninya. Seketika, semua bersorak “hore” serempak mereka diliputi perasaan bahagia.
“Hai Tari, selamat datang dirumah kami,” ungkap Mawar sambil mengelus pipi cempluk Mentari, kemudian sang bayi tertawa menggemas dan menggelitik telinga. Seakan ia juga ingin menyampaikan, bahwa dia turut senang dengan keluarga barunya.
# # #


[1] Bayi yang ditemukan oleh bu Lastri pada bulan Juni 1978 ini  memiliki makna sebagai Bunga Simbol Kasih Sayang. Keanekaragaman warna bunga mawar seringkali mengungkapkan banyak arti. Merah: cinta, keberanian, penghargaan, kuning: kegembiraan, kebahagiaan, kebebasan, pink/peach: terima kasih, syukur, kekaguman, penghargaan dan simpati, putih: penghormatan, kesucian hati, kerahasiaan, pertunangan Merah & Putih: kebersamaan

[2] Bayi yang ditemukan oleh bu Lastri pada bulan Januari 1980 ini mengandung arti nama keramahan, kesuciaan, dan kepercayaan.

[3] Bayi yang ditemukan oleh bu Lastri pada bulan April 1982, Tulip melambangkan cinta yang sempurna. cinta sejati.

[4]Bayi yang ditemukan oleh bu Lastri pada bulan Agustus 1982, Lily berarti keinginan untuk memperbaiki hubungan, permohonan maaf.

[5] Bayi yang ditemukan oleh bu Lastri pada bulan Oktober 1985,  Kamelia memiliki arti penghormatan, kecantikan, dan kesempurnaan.

[6] Bayi yang ditemukan oleh bu Lastri pada bulan Februari 1985 ini, nama bunga ini dilambangkan sebagai bunga penetralisir hubungan cinta yang nyaris berantakan.

[7]Bayi yang ditemukan oleh bu Lastri pada bulan Maret 1983, memiliki arti nama yang  melambangkan kesungguhan hati untuk memberi kasih sayang yang tulus & abadi. Serta lambang cinta, kecantikan dan keindahan.

Rindu untuk Orionku

Orionku....
Entah hari keberapa, aku tak lagi menghitungnya. Yang jelas, aku tak mampu untuk selalu baik baik saja. Aku tak bisa mengusirmu, karena sebenarnya engkau mengaliri darahku. Bagaimana mungkin aku akan membunuh bayangmu? Membunuhmu adalah juga kematianku.
Tidak ada yang lebih menyiksa selain kebenaran terpendam. Tapi, aku yakin kau tahu bagaimana perasaanku, seperti selalu kutuliskan dulu pada pesan pesanku untukmu. Ah, ingin tangan ini kembali merangkai kata untukmu, mengirimnya dengan segudang rindu yang kupupuk.
Dan hatiku menjerit, perih. Air mata pun menemani setiap kata yang tertuang. Aku pun teringat kata katamu dulu, ketika aku melabuhkan lelahku, betapa kau ingin terbang dan memelukku, menghentikan tangisku...Tapi, tidak kali ini. Kau tidak akan datang, aku harus menyimpan sisa sisa tangisku.
Orionku, elangku, ajari aku terbang. Sayapku gundul dan aku masih menanti di batas cakrawala. Hingga mentari jingga tenggelam, kau tak juga mendekat meski sekedar bayang. OH Sementara kerinduanku menenggelamkanku dalam kekosongan. Kadang aku ingin mencacimu, kadang ingin membunuhmu, tapi selalu ingin mengejarmu, memelukmu..untuk mengungkapkan yang tersisa, sebelum ajal menjemput.
Bukankah alasan itu juga yang membuat kita akhirnya sepakat bertemu? Setelah sekian lama kita saling menyayangi dalam kesemuan dunia cyber.
Ingatkah hari itu? Ingatkah minggu pagi itu? Ingatkah sepanjang jalan penuh sesak itu? Ingatkah toko buku tempatmu menunggu? Ingatkah kita main kucing kucingan di mall? Ingatkah kita berjabat tangan di tangga?
Lalu, kita minum bersama. Duduk berhadapan, dan kutangkap jelas sorot matamu yang sendu membuatku selalu merasakan betapa pengasihnya kamu. Dan mengalirlah banyak cerita. Sayang, masih kupakai topengku. Masih kusembunyikan banyak hal tentangku. Sedang kau telah banyak membuka kisahmu. Ah, betapa menyesalnya aku...andai kau mengerti.
aku sangat tahu, semua kesalahanku. Ketika aku mengakhiri sore itu. Hujan yang turun, keterburuanku meninggalkanmu... Aku tak lagi melihatmu, walau aku sangat ingin memelukmu. Entah, apa yang ada di otakku.
Orion, kini di sisa waktu yang masih kumiliki, aku telah mencoba segala cara menyampaikan maafku untukmu. Dan kau tetap menghilang Aku tahu tempat terakhir untuk mencarimu, tapi, aku tak punya keberanian untuk mengejarmu. Aku takut apa yang kulakukan malah akan melukaimu. jadi, terbanglah elangku Temukan kebahagiaanmu sendiri Meski tangis menemaniku sepanjang waktu, aku selalu belajar untuk membebaskanmu dari sangkar yang kubuat sendiri untukmu. Sangkar hatiku.
Maafkan aku Orion. Andai waktu masih mengijinkanku, aku hanya ingin menemukanmu, dan mati dipelukmu. Aku tak ingin mati seperti ini. Sudahlah, tak ada kekuatanku tuk meraihmu, mungkin ajal yang menang sebelum keberanian datang...sebelum aku melangkah.
Maaf.
Dariku,
Seseorang yang kau beri puisi tanpa judul

Kain menutup seluruh tubuh
tersingkap sedikit
menyisakan getar pada kulit tipis berpeluk debu
mengggil sebentar
inginnya mengejar
meski tak mungkin tergenggam
berkelebatan bayang dalam sepoi sepoi
dingin membelenggu
cukup sudah
kembalikan kain dan jahitkan menjadi batu

Masa SD ...

Dulu, aku termasuk murid yang paling lambat
lambat menangkap materi pelajaran, apalagi pelajaran matematika, dua kali seminggu rutin mengadakan ulangan, yang nilainya tinggi bebas hukuman, dan nilai yang rendah, push up dan skort jam pun harus dijalani. kerap kali mendapat angka nol dalam berhitung, sering pula aku menerima sanksi dari ibu kepala sekolah Ida Sutrisno (semoga sehat selalu Bu), aku dan beberapa teman yang termasuk kategori selalu gagal menaikkan angka nilai ujian, berdiri berbaris di depan kelas. Ibu kepala sekolah pun untuk kesekian kalinya memberi wejangan bijaknya kepada kami. sampai perkataannya berhujung selesai, ibu ida pun menghampiri kami satu persatu. bukan untuk mengusap kepala kami, tapi mencubit dada dan menjewer telinga kami. sembari berbisik,"makanya, jangan sering main, belajar giat di rumah ya," pesannya.
tiada kata tangis saat itu, malah kami cekikikan saling menanyakan rasa sakit yang kita rasakan. ada yang bilang kayak digigit semut, ada yang kepanasan sampai gosong, ada yang merasa gelitik, bahkan ada yang berkata kalau jeweran bu Ida tidak sakit, tapi telinganya malah ngerasa tambah panjang (hai busiri, 12 tahun sudah kau menghilang). yah, aku mengalami hal itu saat aku baru bisa membaca di bangku kelas 3 SD. Kelambananku membaca cukup parah, tapi sebelum memakai seragam merah putih, aku sudah mahir menulis dan menggambar. karena ayah selalu menuntun jemariku di atas lembaran kosong, dan meniru apa saja yang ku lihat. Gambar bebek bertelur adalah oretan pertama keberhasilanku di buku gambar. ada dua bebek, yang satu punya ayah dan satunya buatanku.
saat pembagian raport hasil prestasi kelasku yang setiap tahun ada tiga cawu, dan tiga kali pengambilan oleh wali murid ini, membuatku tak sabaran. aku hanya ingin tahu angka rangkingku. saat itu, cuman terdapat peringkat satu sampai sepuluh. dan untuk kedua kalinya aku mendapat angka satu dan nol menyatu. aku tetap sumringah, karena bagi kedua orang tuaku akan sekedar melihat prestasi nilai agama saja. dan aku aman, angka enam sampai sembilan tetap memenuhi kolom pelajaran agamaku, yakni pelajaran akidah akhlak, bahasa arab, fiqih, tarikh (Sejarah), al quran hadist. bagi ortuku, sekolah itu penting tapi lebih penting kamu bisa mengaji dan mengetahui agamamu.
semakin anjloknya nilaiku, semakin giat pulalah ortuku membujuk untuk mengikuti les privat. padahal, inisiatif ini datang dari seorang ibu Guru yang selalu membawa payung ditiap berangkat ke sekolah, agar sengat matahari tak lunturkan hiasan bedak, gincu wajahnya. aku pun menuruti permintaan ayah dan ibu. seminggu dua kali, kini rumahku tiap jam 3 sore guru privat mengunjungiku untuk mendidikku.

diantara teman perempuanku,
Sejak aku mendapat pinjaman komik seri cardcapture sakura