Tentang Kenangan

Cinta yang tak pernah rapuh, kan tersembunyi menyatu

Hampir lamanya aku malas membicarakan kata "cinta"
Mungkin hampir setahun, paska aku di wisuda
Tiba-tiba rasaku tak ubahnya seperti dulu, kambuh tuk aras-arasan mengetuk rasa itu
Karena, aku masih takut mencintai
Karena, aku khawatir membuat orang lain kecewa, sakit hati
atau bahkan dikecewakan dan tersakiti
Sungguh, dari dulu aku enggan mengenal kata "cinta"

Hingga akhirnya...
Diriku terperanjat tak karuan
Kala cinta datang menyapaku
Ku sambut saja dengan suka hati
Tanpa peduli apa kata orang
Aku hanya mengikuti apa kata hatiku
Karena selamanya hati selalu berkata Jujur

Entah aku tak pernah menghitung,
Berapa kali aku menerima kata manis, kata sanjungan, kata ungkapan sayang
Dari mereka, yang pernah menemani masa-masa indah bersamaku
Dengan merajut tali hubungan dalam ikatan pacar, tunangan atau status lainnya
Yang jelas aku merasa bahagia, ada yang sempat membuat ku tertawa
Yang jelas aku merasa gumirah, ada yang sempat memberi ku pelajaran bermakna
Yang jelas aku merasa bersyukur, sempat ada hadirmu dalam kisah hidupku

Meski kadang ada air mata, karena benci, amarah, kecewa, dan sakit hati
Tak henti menghiasi
Aku tetap merasa bersyukur
Meski tuturku berkata luka, tapi hati ini selalu tersenyum
Karena hati terlalu mulia tuk membiarkannya tersayat

Biarkan kau anggap diriku semau yang kau sebut
Sekiranya itu bisa buatmu lega
Biarkan kau tak pedulikan aku lagi
Karena begitulah adanya, jika itu memang pantas tuk ku

Aku tak tahu...
Sudahkah kita bisa saling memaafkan dengan tulus??
Aku tak tahu
Sudahkah kita bisa saling mengikhlaskan dengan tulus??

dan semoga kita sudah berusaha tegar menjalani ini

Karena yang aku tahu...
Aku hanya bisa ucapin terima kasih
Atas kisah hidup yang pernah kita rangkai dalam bingkai kisah
Yang telah membuat orang lain selalu ingat akan kisah kita
Karena terlalu banyak orang lain turut campur, mewarnai kisah kita

Kini...
Aku dan kehidupanku
Kau dan kehidupanmu

Tapi, aku akan selalu merekam semua itu
Karena terlalu manis tuk dilupakan
Tentang kisah yang terlewati dengan indah
Tentang aku dan kenangan

Terima kasih, karena telah menjadi bagian dari cerita hidupku....
Ya Robb, Jagalah dia dengan Rahman-Mu selalu. Amiin.


Last My notes about memories
            * Ida_Zha*

Hmm,,,
Cinta, kau selalu beri kekuatan tuk kita
Kelak aku akan bisa denganmu...

Just Missing

Assalamualaikum, Wr. Wb

Lama aku tak bersua denganmu wahai penaku...
padahal banyak sekali cerita" yang ingin kukisahkan

Setahun sudah terlewati
Menggembalakan pikiran, perasaan dan jiwa
Yang saat itu tengah kosong, berkecamuk tak tentu
Yah, aku telah lalui kesendirian itu dengan sgala asa
Yang ku rasa itu nikmat dan indah

Parade hidup mulai berjalan mengiringi langkahku
Tersadar, ada yang datang dan pergi
Ada teman, pernah bersama merangkai warna hidup dengan hiasi pelangi
Tapi, itulah pelangi,,,selalu memudar pelan-pelan
Kala reda sudah mengering
Lalu, berganti hadir di lain hari dengan elok berbeda
Ada kekasih, pernah singgah melengkapi hari-hari dengan denting asmara
Tapi, itulah cinta,,,tak pernah tahu, kapan terakhir berlabuh
dan derapku ternyata. . . . . . .
Meski mereka yang pernah dekat datang dan pergi
Namun, hanya kata sejati yang akan tersemat dihati


B'day me

Telah datang lagi masaku,,,
Ada dua rasa menghimpitku
Bahagia, aku masih bisa belajar bijak menyikapi hidup
Sedih, masih ada beban dan tanggung jawab yang akan kujalani
Karena, aku telah berjanji
Sepenuhnya nafasku hanya mengabdi pada-Nya
Dengan persembahan sisa usia dan segenap raga
Memberi manfaat kepada mereka
Mendampingi mereka yang tertatih
Dengan bekal titipan Tuhan yang terpercaya...

Karena kini aku mengerti...
Kita bisa meraih sesuatu
Bukan karena cita-cita
Melainkan karena kita "Yakin"

Terima kasih ya Allah...
Nikmat dan karunia-Mu sungguh Maha Luar Biasa

Sweet day
Rabu, 01 Juni 2011

Relung yang Berkata



Assalamualaikum...

(a)
Apa kabarnya cinta?
Semoga kau selalu terjaga dalam selimut rahmat-Nya
Meski aku tak tahu ada dimana kamu berada

(b)
Apa kabarnya cinta?
Aku sangat mengagumimu
Walau kisah yang kau torehkan kadang penuh luka dan suka

(c)
Apa kabarnya cinta?
Aku sangat merindukanmu
Tapi dayaku tak mampu merengkuhmu
Sebelum kau benar'' berjanji setia dan tulus

(d)
Apa kabarnya cinta?
Ada sesuatu yang akan ku ungkapkan kepadamu
Kata ini buat kamu "Terima kasih"
Kau mau menerima kelemahanku, kekuranganku

(e)
Apa kabarnya cinta?
Semoga kau kelak mendengar pesanku ini
Apapun yang menimpa
Percayalah, kita dipertemukan dan dipisahkan karena Tuhanku
Bukan karena benci, dendam, sakit hati dan amarah
Jika itu terjadi...
Betapa resahnya aku?

(f)
Apa kabarnya cinta?
Memang saat ini aku belum menemuimu
Lantaran jarak yang berliku tengah menguji kita
Agar kita lolos tuk bersabar

(g)
Apa kabarnya cinta?
Tahukah kau? aku masih sendiri dengan tegarku
Biarlah mereka duluan mereguk manisnya asmara
Dan aku... tak apalah...
Aku tetap tersenyum
Aku menikmatinya kok

(h)
Apa kabarnya cinta?
Ku disini
Kan selalu mendoakan kamu
Cinta yang suci nan abadi...


Wassalamualaikum
Salam cintaku

Lega




Lega...
itulah perasaan yang tergambar saat ini
Saat ranjau-ranjau itu mulai terlihat...
Meski tak pernah diketahui, bahwa kamu pandai menyimpannya dariku selama ini

Lega...
biar kau mencercau seenaknya
tanpa peduli pengaruh dan respon dari ujarku
Meski tak pernah diketahu, bahwa kamu dibelakang tengah bermain api

Lega...
Semuanya telah jelas
Ada maksud busuk yang kau sebarkan di halamanku
Meski tak sadar, bahwa kamu memang tak punya hati yang penuh kasih

Lega...
Aku tak akan lagi menangisi dirimu dan buaianmu yang palsu
Biar sempat ada kata 'cinta', tapi itu semua terhempas
Kala kau menebar cerita belaka yang tak pernah terjadi kepada mereka

Lega, sungguh aku lega...

Catatan Di penghujung Tahun

Catatan Di penghujung Tahun


Ini adalah cerita dari gadis yang berinisial “aku”, penulis akan memaparkan menurut cerita dari “aku”
Senin, 29 Dzuhijjah 1431 H.
Seusai lulus kuliah, aku di minta mengajar di sekolah dasar negeri kelas 2, berstatus sebagai guru kelas, jadi konsekuen harus menguasai seluruh mata pelajaran. Kecuali study agama dan English, ada guru khusus yang menghandle. Siang itu jam 12, dengan mengenakan seragam abu-abu, aku pulang mengajar. Sesampai di rumah, aku bersalaman dengan bunda, kucium tangan kanan itu penuh takdzim. Aku mengeluarkan jajanan yang kudapat dari wali murid “gethuk jowo”. Bentuknya panjang dan terbungkus daun pisang, lalu kedua ujung ditusuk dengan biting, berfungsi merapatkan isi gethuk, agar saat dikukus, bentuknya tidak berubah. Berbahan dasar dari singkong yang dihaluskan, bercampur dengan rangkaian pelengkap bahan dan penyedap rasa lainnya. Kresek merah yang berisi empat gethuk kuserahkan kepada bunda. Sambil saling membuka satu biji, kami berdua melahap kenyalnya makanan ringan yang terbuat dari bahan dasar tepung singkong.  Warna kuning dan rasa manis legitnya sungguh menggiurkan lidah.
“Bing, besok ikut ayah ke Madura ya?” ungkap bunda.  Jarak dudukku bersebelahan dengan beliau, ku toleh tak mengerti.
“Paman Ansorinya nyuruh ke Madura, kamu mau disyaratin sama kyainya,”
Aku mendesah. Ternyata pikiran itu masih belum hilang dari ayah dan bunda.
“Emang aku mau diapain lagi?” tanyaku rada setengah ketus.
“Iya cuman disyaratin saja, katanya sang kyai sudah tirakatin kamu dengan puasa 41 hari, jadi besok kamu mau dikasih sesuatu”
Hah, puasa 41 hari. Gak salah tuh!!! Pikirku nakal.
“Bunda masih percaya kalo aku digituin sama Riko?” tanyaku.
“Yah takut saja, kalau kamu masih dikancing sama mantan tunanganmu dulu,” 
Astaghfirullah…
“Bunda,” kutatap kedua mata yang sangat kuhormati itu.
“Kalau bunda mau percaya, aku sebenarrnya baik-baik saja, tanpa harus memikirkan hal-hal buruk akan menimpaku,” perlahan ku beri pengertian kepada bunda, agar tak terlalu merisaukan keadaanku.
“Siapa yang tahu nak kelakoane wong lanang, punya rasa dendam dengan kita, trus kamu diapa-apain,”
“Tapi ini sudah lama bunda, masa’ harus dikait-kaitkan lagi dengan dia?”
“Dulu budemu juga digituin bing, sama mantan suaminya aura bibimu di tutup, pas setelah disyaratin, budemu akhirnya bisa menikah lagi,”
“Tapi sekarang ceritanya lain kan bunda, aku gak sama dengan bude,” belaku.
“Sudahlah, pokoknya besok kamu ikut ayah ke Madura, cuman sebentar saja, habis gitu langsung balik,” nada suara bunda sudah tak bisa kusahut lagi. sulit banget mengelak, apalagi beliau memang berwatak keras. Jadi aku memilih diam, percuma beragumen membela diri, nanti dikira membantah. 
Duh gusti, aku tak tahu apa yang harus kulakukan, untuk meyakinkan kedua orang tuaku. Terutama pada bunda. Pasca saudara sepupuku yang seumuran, semuanya pada laris manis dipinang orang. ditambah, berdekatan bulan-bulan kemarin, anaknya bi Salwah adik dari bunda yang berusia 17 tahun bernama “Nur” dilamar orang. alamak, lengkap sudahlah kekhawatiran bundaku. Sebab, gadis 22 tahun sepertiku. Pastinya akan menjadi buah bibir di kalangan masyarakat di sekitarku. Karena 22 tahun dirasa sudah pantas, dinilai cukup umur untuk membina rumah tangga. Hm, Siti Nurbaya era globalisasi yang masih mengakar.
Apalagi ditambah dengan kondisi negeri yang serba dilanda duka akibat bencana. Terkadang bisa menjadi sindiran yang menohok, seakan berkelakar sembari memancing umpan milik orang lain.
“Gunung merapi wis meletus loh yo, ndang nggolek,” tutur mbak Tarni. Perempuan dua anak ini, yang tinggal bersebelahan dengan rumah, selalu mengerecokiku.
“Tenang ae mbak, gunung semeru sek durung kok,” balasku tak mau kehilangan ide. Astaghfirullah, separah itukah diriku, yang kini memilih untuk sendiri. Memang, pasca putus dengan Riko mantan tunanganku. Tak terlihat lagi, pria yang datang mengunjungi rumahku. Karena itulah, bermacam spekulasi bermunculan. Mulai dari dikancing, istilah yang entah darimana berasal, sebab kata itu merebak begitu saja, jika ada wanita tak kunjung datang jodohnya juga, atau bahasa kasarnya tak laku-laku jua. Pasti ada sesuatu di balik wanita itu. Yah, anggapan ada penghalang yang mempersulit bertemunya jodoh. Dan indikator pasti tak jauh melihat sisi lain dari kisah asmara sang wanita. Apakah ada orang lain yang pernah dekat dengan wanita tersebut? maka, pria itulah yang akan dicurigai sebagai dalang penghambat. Takutnya diguna-guna, biar gak laku. Ternyata, sugesti tak karuan ini begitu merugikan banyak pihak. Selain wanita tersebut yang mungkin bisa dirundung perasaan tak tenang, akibat efek pernyataan tersebut. hal ini pula dapat mempengaruhi keluarga sang wanita. Segala cara diusahakan, agar wanita ini bisa terlepas dari mantra guna dari si pengirim. Kosakata “cinta ditolak, dukun bertindak” masihkah berlaku bagi mereka yang pernah mereguk kisah asmara. Apakah lelaki yang katanya bertugas melindungi kaum hawa berbuat demikian, saat cinta tak lagi bersemai? Dan sempat terlintas kehendak aku ingin sekali menanyakan hal ini kepada Riko, apakah dia melakukan itu terhadapku? Hingga orang tuaku mulai bertindak sesuatu yang tak seharusnya dilakukan mereka. Apalagi jika bertentangan dengan ajaran agama. Lima bulan lalu, aku sempat disuguhi berbagai ritual aneh-aneh. Seperti bunda yang menyuruhku mandi kembang selama tujuh hari berturut-turut, katanya itu risalah dari seorang bu Nyai berinisial “M”. Tapi, tanpa sepengetahuan bunda. Aku hanya membasahi racikan bunga yang baunya ngeh seperti bau kembang orang mati. Lalu ku buang seusai mandi. Maaf bunda, aku tak ingin mandi kembang. Karena aku lebih suka wangi sabun mandi.
 Tak henti sampai disitu, bunda sering berbagi keluh asa kepada saudara-saudaranya. Tak ayal, pak lek Hadi turut memanggilkan orang pintar yang disebutnya ustadz.
“Dia asalnya dari Madiun, sudah banyak orang yang jodoh (cocok) sama bantuannya,” tutur bunda, sehabis mendengarkan profil sang ustadz dari pak lek.   
Kalau ingat cerita ini, aku tak kuasa menahan tawa. Yah, seperti biasa aku pun harus mengikuti prosesi ritual yang dilakukan ustadz “brengos” julukan yang kusematkan, berkat kumis tipisnya yang klimis. Aku disuruh berdiri menghadap kiblat, lalu dari kejauhan ustadz brengos terlihat memejamkan kedua mata, sembari menggerak-gerakkan tangan kanannya, seperti orang melambai-lambai ke kiri ke kanan. Tak lupa, mulutnya komat-kamit membaca lafadz-lafadz al quran. Yang kudengar, dia melantunkan ayat kursi. Setelah itu, dia pindah tempat berdiri di belakangku. Saat itu ku amati, rautnya nampak serius. Pun keringat telah menjalari tubuhnya, hm kayak abis ikut tinju aja, pikiranku berkelakar. Dan aku terkejut, saat tiba-tiba dia memukulkan satu batang lidi ke kepalaku kira-kira lima kali. Sontak aku cekikikan. Apa-apaan ini. Emangnya aku kesurupan.
Hanya butuh 15 menit saja, proses ini berjalan. lalu ustadz brengos melanjutkan kegiatannya dengan meminta bedak powder yang baru. Agar nanti kupakai. Kebetulan bunda menyimpan bedak baru, di bawah laci lemari kerja.
“Ini tadi pagi, aku barusan beli, jadi masih anyar,” ujar bunda sembari menyerahkan revil bedak berukuran 5 x 4 cm, berwarna yellow beage kepadaku. Setelah mendapatkan bedak tersebut, ustad brengos memohon diri untuk masuk ke suatu ruangan sepi. Bundaku pun menunjuk ke sebuah kamar tamu, pintu pun ditutup rapat. Tak heran, pasti mau bikin aji-ajian pada bedak itu.
Lima menit berlalu, ustad brengos itu keluar. Lalu, diserahkan ke pak lek, seraya berbisik-bisik. Seusai itu, ia berpamitan pulang kepada aku dan bunda. Sebelumnya, bunda menitipkan lembaran rupiah kepada pak lek, yang kemudian diberikan ke ustad tersebut. Tak lupa, ustad itu menyampaikan risalah kepadaku.
“Insyaallah, semoga habis ini kamu lekas dipertemukan sama jodoh mu,” harapnya.
“Amiin pak,” jawabku. Walau pun caranya tadi menurutku bersimpangan, tapi dia cukup bijak dalam bertutur.
Masih berlanjut, sehabis mengantarkan ustad tadi, pak lek mendekatiku sembari memberikan bedak tersebut. Tak lupa adik bapak ini berpesan,
“Kalo berpergian keluar rumah, jangan lupa pake bedak ini, agar auramu terlihat memancar, sambil berpoles, baca doa hawwala sebanyak tujuh kali,” aku pun cuman bisa menjawab “iya” saja. Meski dalam hati beristighfar menjalani ini. Percuma, aku mengelak, tetap saja tak ada yang mafhum.
Namun, bedak dari ustad brengos itu aku sembunyikan. Karena powder milikku masih ada, dan beruntung bentuknya tak jauh beda dengan bedak yang telah terkena rangkaian mantra doa-doa. Dan aksiku ini, tidak diketahui bunda. Walau pun beberapa kali, bunda mengontrol dan menanyakan perihal tersebut. Lagi-lagi aku harus berani bohong.
Dan aku bersyukur, ketika selang satu minggu berlalu, saat aku baru pulang dari mengajar ngaji. Rumah pak lek hadi yang satu gang dan berjarak lima petak dari tempat hunian keluargaku, dengan duduk santai diatas dengklek kayu meneriaki namaku, sontak aku menoleh.
“Kemari dulu, ada yang mau paman omongin ke kamu,” tandas pria bertubuh kurus nan berwajah item manis ini. Kerenyut dahiku menekuk. Kini, pak lek sudah tepat berada didekat ku. Sembari memainkan kaca spion kanan sepedaku,
“Ada apa lek?” tanyaku.
“Kamu belikan bedak baru lagi, bedak yang kemarin itu katanya ustad bekas dari ibu mu,” ujar pamanku ini.
“O ya lek, insyaallah ya,” jawabku.
“Secepatnya ya Rin,” tukas pak lek menyebutku Rin, diambil dari nama tengahku, Karina. Bersama sepeda supra 125X aku segera beranjak kembali ke rumah. Tak lupa, bibirku tersungging riang mendengar pengakuan pak lek. Ternyata, Allah SWT melindungiku dari perangai ini. Subhanallah, terima kasih ya Robb, Kau perlahan menuntunku, agar terjaga dari hal-hal menyimpang. Dan urusan bedak ini, cukup menjadi rahasia berhargaku saja.
#                        #                        #
Perjalanan ke Madura ditempuh selama empat jam, ada ayah, aku, adikku Aliya, keponakanku Rafly, bocah berusia 5 tahun ini, sengaja ku ajak, biar tambah ramai aja waktu di mobil. Kebetulan, ayah menyewa supir untuk mengendarai kijang innova silvernya. Maklum, jarak menuju lokasi desa kami lumayan jauh, hampir 16 km dari Surabaya, yah, namanya juga ndeso poll.
Dari Surabaya kami berangkat siang pukul 12.00 WIB, sesampainya disana pukul 15.30 WIB. Belum lagi, kondisi kota Sampang pada tahun ini tergenang air banjir. Jadi, terpaksa kami harus memutar mencari jalan alternatif.
Dan jam empat pas waktu sore, kami pun tiba di kampung halaman eyang putri kami. Saudara-saudara kecilku telah menyambut kedatangan kami.
“Mbak Karin,” panggil Anas menghampiriku, saat aku turun dari mobil. Ia menyalamiku. Tubuh kecilnya lumayan berisi, terang saja usianya kini memasuki 6 tahun. Hampir sepadan dengan Rafly, cuman bedanya Rafly tidak bisa berbahasa Madura, sedari orok dia memang terlahir di Surabaya, sedangkan Anas sejak dalam kandungan, kedua orang tuanya asli berstatus penduduk medunten.
Di langgar, paman Anshori terlihat duduk bersila, ia tengah menemani seorang lelaki yang telah berumur. Sepantasnya aku sebut dia kakek tua, yah, guratan kerut mulai mengeriputkan setiap kulit di tubuhnya. Namun, nada suaranya masih terdengar lugas, tegas.  Dengan memakai sarung, baju batik cokelat lengan panjang, kopyah hitam pria itu sesekali meminum kopi yang dihidangkan, berlanjut menghisap rokok puntung yang diapit oleh jari telunjuk dan jari tengahnya. Seketika ayah turut bergabung ke langgar. Aku, Aliya dan Rafly diajak isri paman Anshori Bi Nafisah masuk ke dalam rumah keluarga. Namun, pandanganku ketika sampai, tak hentinya tak mau lepas menatap bapak tua yang kutaksir berumur 60 tahun ke atas itu.
Hari akan menunjukkan semakin petang, Aliya minta ditemani ke kamar mandi, karena setiap bilik di sekitar rumah memiliki ruang terpisah. Ruang dapur berada di depan halaman rumah, perlu sekitar 15 langkah menuju ke sana, sedangkan kamar mandi di sebelah kiri rumah hanya butuh 10 langkah. Yah, kalau dipantau melalui satelit palapa, rancangan rumah eyang kami berbentuk persegi panjang, berhadapan dengan ruang lainnya. Setiap bangunan mempunyai kegunaan sendiri. Rumah keluarga, rumah tamu, rumah dapur, serta bangunan langgar yang multiguna bagi siapapun, tapi langgar khusus digunakan untuk sarana ibadah.   
Bau aneh tiba-tiba menyergap penciumanku. Oh, tidak, paman anshori membawa tungku yang berisi bakar-bakaran, benda putih itu terlihat meliuk-liuk mengepul, lalu menyerebakkan aromanya yang membuatku terganggu, tak salah lagi, untuk kesekian kalinya aku akan menjalani ritual konyol ini. Bubuk kemenyan yang telah dibangkitkan oleh api itu, berhamburan berubah asap yang siap membantu mengusir kekuatan jahat dan buruk.
Tungku kemenyan ditaruh disamping kamar mandi, lalu paman anshori mondar mandir lagi mengambil bak air yang telah bertaburan the flowers seven of face, dan sebuah kain putih, yang tak jelas kuamati, ikut menyusul keberadaan kemenyan tersebut. seakan, perlengkapan ritual telah tersaji. Pak tua itu mendekati paman Anshori, dan ayahku. Sedangkan, aku yang hanya bisa memandang aktifitas barusan, duduk terdiam terpaku. Hatiku berbisik, aku tahu apa yang harus kuperbuat.
“Rin, cepat ganti bajumu, terus keluar nak” perintah ayah.
“Mau ngapaian yah?” tanyaku curiga.
“Kamu mau dimandi’in ama pak kyai, buat tombo,” terang ayah, yang jelas akan kutentang.
“Sebenarnya ayah sadar gak sih, apa yang dilakuin ini gak benar yah, ngapain dia mau mandi’in aku?” protesku.
“Gak usah bantah, mandinya cuman sebentar kok, ntar mandinya sambil di bacakan doa-doa ama kyai,”
“Maaf yah, tapi aku gak mau jika caranya kaya gini, ayah kan tahu hal ini jelas dilarang oleh agama,”
“Ndak nak, kamu nanti cuman disiram aja trus didoain, biar kamu cepat sembuh,” ungkapan ayah, seketika membuat kedua pelupuk mataku menganak.
“Aku tuh gak sakit yah, ayah itu seharusnya percaya dengan Allah bukan sama dia,” tunjukku langsung mengarah lelaki tua, yang dari kejauhan, kusoroti dia seperti tak sabaran melihat gelagatku.
“Rin, ini namanya ikhtiar nak, tolonglah kamu turuti,”
“Mendingan aku dikasih bacaan doa-doa yah, daripada harus dimandikan ama dia,” sesegukanku mulai parah, air mataku pun jatuh mewakili rasa sedihku ini. Aliya dan Rafly pun turut menyaksikan adegan pilu ini. Ah, Rafly, dalam tatapan diamnya, pasti batinnya bertanya, mengapa tantenya menangis?  
“Ayolah Rin, biar gak lama-lama, kita harus cepat balik ke Surabaya,” ayah menarik lengan kiriku. Tapi kutepis.
“Hanya sekali ini saja nak, cepatlah,” aku tahu ayah buru-buru memaksaku, karena ocehan pak tua itu semakin keras terdengar, sepertinya dia ikut kesal menungguku.
Bi Nafisah mendekatiku. Dan ayah pun menjauh. Pasti Bi Nafisah akan merayuku untuk memenuhi permintaan ayah itu.
“Ayolah rin, kasihan ayahmu, sudah jauh-jauh dari Surabaya, terus kamu gak mau,”
“Bi, jika aku tahu kejadiannya kayak gini, mungkin aku tidak ikut,” jawabku tegas.
“Bibi kan tahu, hal ini salah,” tambahku.
“Ya bibi tahu, tapi mau gimana lagi, ibumu sudah terlanjur meminta om mu untuk minta syarat, agar kau terbebas dari hal-hal buruk,”
“Tapi gak begini caranya, Bi, aku ngerasa sakit banget,”
“Lakukan sekali ini saja untuk terakhir kali, jika hal ini terulang lagi, kamu berhak menolak,” ungkap bi Nafis membelaiku. Tangisku sungguh membuncah. Sejenak, aku berpikir. Ya Allah, apa yang harus kuperbuat. Agar ini segera berakhir. Lalu, entahlah aku meminta inisiatif.
“Aku mau, Bi, tapi yang memandikanku harus ayah sendiri, aku gak mo pak tua itu yang menyiramiku,”
“Baiklah, akan kubicarakan dengan ayahmu, sekarang kamu ke kamarnya bu lek, ganti baju gih,”
Aku pun melangkah ke kamarnya bu lek.
Pakaian Bi Nafis sudah kupakai, seluruh tubuhku harus tertutup. Terutama kepalaku yang berhijab. Meski berbagai rasa asa bercampur satu, aku bersyukur, ayahku sendiri yang akhirnya memandikanku dengan siraman air kembang, dan aku sempat ngeri kain putih yang disematkan ditubuhku sebelum mandi, ternyata kain kafan. Astaghfirullah, tak lupa kuucapkan dzikir istighfar sebanyaknya, aku membayangkan diriku ibarat mayat hidup yang imannya sedang dilanda goncangan dahsyat. Sembari menyiramiku, ayah melafadzkan doa-doa yang diajarin bapak tua itu. Saat siraman ke lima membasahi tubuhku, aku minta berhenti. Bukan karena kedinginan. Ada sesuatu yang tiba-tiba menyelimutiku, hingga buluk kuduk merinding. Innalillah, aku baru ingat, tepat letak ayah memandikanku, disamping kamar mandi, ternyata di belakangnya ada tempat pemakaman keluarga besar kami. Seandainya, nenekku masih hidup dia pasti membelaku, karena dia adalah sosok yang agamis. Namun aku tahu dibalik peristirahatan panjangnya, beliau pasti mengetahui kejadian ini. Dan aku, walau sesungguhnya ingin marah atas perlakuan ini, aku berusaha menahan, agar aku kuat dengan tonggak ketabahanku. Karena Allah tak akan pernah melepas tangan hamba-Nya, bagi mereka yang bersabar atas cobaan dan ujian hidup.   
     #                    #                # 
 Seusai sholat maghrib, kami berpamitan pulang kepada bibi Nafisah dan paman Anshori. Sebelum beranjak pulang, paman memberiku sebuah botol kecil berisi cairan merah.
“ini titipan dari kyai,” paparnya seraya memindahkan ke tanganku.
“Sehabis sholat maghrib baca doa ini, terus kalau mau keluar rumah, jangan lupa ini dipakai, sambil memohon, agar siapa pun yang meihat kamu, dia langsung suka, hingga dia terus memikirkan kamu, sampai dia tergila-gila jatuh hati padamu,” tutur paman Anshori bertele-tele panjang lebar, kayak membacakan teks drama saja.
“Ceritanya ini minyak wangi mahabbah ya man?” tandasku.
“Sudahlah dipakai saja,” balas paman.
“Tapi aku mau Tanya, paman kan dulu sempat nyantri di pesantren, apa hal ini diperbolehkan, kan sama saja bikin orang lain terhipnotis,” sindirku sambil kuselingi gurauan. Sayangnya, paman Anshori tak menjawab, dia hanya meringis. Sudah kutebak, paman tidak berani menjawab. Mungkin ngerasa malu atau lainnya.
Perjalanan pulang butuh waktu berjam-jam pula. Di dalam mobil, keponakanku Rafly melihatku kemudian duduk di pangkuanku, ia setengah berbisik mendekatkan kepalanya kewajahku.
“Tante tadi kok nangis, napa?” tanyanya polos. Subhanallah, ternyata ia ingin tahu. Aliya yang juga mendengar pertanyaan Rafly, memandangku. Dan kujawab,
“Tante tadi kelilipan, habis ngeliat bintang jatuh,” dan ia pun hanya tertawa mendengar jawabanku. Ah, semoga saja dia tak mengerti atas apa yang telah menimpaku. Dan semoga saja Aliya tak pernah mengalami hal serupa denganku, adikku yang terpaut 5 tahun denganku ini, tanpa kujelaskan, dia sudah memahami di balik semua kejadian ini.
“Semoga hati ayah dan bunda terketuk mbak,” harapnya jua.
Dan sebuah pesan sms masuk. Dari Laila, sahabat karib semasa kuliah dulu.
- Selamat tahun baru Islam 1 Muharam 1432 H 
Semoga menjadi insan yang lebih baik dan kaffah
Semoga Iman dan taqwa kita terjaga hanya untuk-Nya
amiin-
seketika, buliran kristal perlahan keluar dari kedua kelopak mataku, mewakili segenap asa yang tertimbun di dada.

     #                    #                    #